Pengertian
Perjanjian
Menurut
Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan hukum
antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya
terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
Azas-Azas
Perjanjian
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata merumuskan ada lima azas dalam hukum perjanjian :
1. Azas Kebebasan (Freedom of Contract)
Azas
kebebasan dalam hukum perjanjian memandang bahwa setiap pihak bebas untuk
menentukan apakah mereka akan membuat perjanjian atau tidak, bebas mengadakan
perjanjian dengan siapa pun, bebas menentukan isi perjanjian, cara pelaksanaan,
serta syarat-syarat perjanjian, dan bebas menentukan bentuk perjanjian, apakah
lisan atau tertulis.
Azas
tersebut telah ada sejak zaman Yunani dan mengalami perkembangan pada zaman
Pertengahan (Rennaisance) dengan latar belakang paham individualisme yang
memandang bahwa setiap orang bebas memperoleh apa saja yang dia kehendaki.
Pelopor paham ini adalah Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J.
Rousseau.
Pasal
1338 ayat (1) KUHP memuat ketentuan mengenai azas kebebasan bahwa: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”
2. Azas Konsensualisme (Concensualism)
Azas
ini memandang bahwa sebuah perjanjian disebut sah apabila ada kesepakatan,
yakni persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah
pihak. Azas ini termaktub dalam pasal 1320 ayat (1) KUHP, berkaitan dengan
bentuk perjanjian.
Azas
ini lahir dari hukum Romawi dan Jerman. Hukum Romawi mengenal azas contractus
verbis literis dan contractus innominat, sebuah perjanjian dianggap terjadi
apabila memenuhi suatu bentuk yang ditetapkan.
Sementara
hukum Jerman, mengenal istilah perjanjian riil dan perjanjian formal. Disebut
perjanjian riil apabila perjanjian tersebut dibuat dan dilaksanakan secara
kontan dan disebut perjanjian formal apabila perjanjian tersebut dalam bentuk
tertulis.
3. Azas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas
ini memandang bahwa suatu perjanjian memiliki kepastian hukum berkaitan dengan
akibat dari perjanjian tersebut, pihak ketiga (hakim, dll.) harus menghormati
substansi perjanjian dan tidak boleh melakukan intervensi. Azas kepastian hukum
tersebut termaktub dalam pasal 1338 ayat (1) KUHP.
4. Azas Itikad Baik (Good Faith)
Azas
ini memandang bahwa pelaksanaan substansi perjanjian antara kedua belah pihak
didasarkan pada kepercayaan dan itikad baik. Itikad baik tersebut dibedakan
menjadi dua, yaitu nisbi dan mutlak.
Itikad
baik nisbi berkaitan dengan sikap dan tingkah laku subjek perjanjian secara
nyata, sedangkan itikad baik mutlak memandang bahwa penilaian itikad baik
menyangkut ukuran objektif dan tidak memihak berdasarkan norma-norma yang ada.
Azas ini termaktub dalam pasal 1338 ayat (3) KUHP.
5. Azas Kepribadian (Personality)
Azas
ini memandang bahwa setiap pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan
kepentingan diri sendiri. Sebagaimana termaktub dalam pasal 1315 KUHP yang
berbunyi: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri,” dan ditegaskan dalam pasal 1340:
“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Dengan
demikian, sebuah perjanjian hanya mengikat kedua belah pihak. Kecuali, ada
kasus khusus sebagaimana disebutkan dalam pasal 1317 KUHP: “Dapat pula
perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang
dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung
suatu syarat semacam itu.”
Subyek
Dan Obyek Perjanjian
1.
Pengertian Subyek Hukum
Pengertian
subyek hukum (rechts subyek) menurut Algra dalah setiap orang mempunyai hak dan
kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedangkan
pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek
dari hak-hak.
Dalam
menjalankan perbuatan hukum, subyek hukum memiliki wewenang. Wewenang subyek
hukum ini di bagi menjadi dua. Pertama, wewenang untuk mempunyai hak
(rechtsbevoegdheid) dan Kedua, wewenang untuk melakukan (menjalankan) perbuatan
hukum dan
faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
Pembagian
Subyek Hukum
a)
Manusia
Pengertian
secara yuridisnya ada dua alasan yang menyebutkan alasan manusia sebagai subyek
hukum yaitu Pertama, manusia mempunyai hak-hak subyektif dan Kedua, kewenangan
hukum. Dalam hal ini kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi subyek
hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Pada
dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kendungan (Pasal 2 KUH Perdata),
namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum, orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah
dewasa (berumur 21 tahun atau sudah kawin), sedangkan orang-orang yang tidak
cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang
ditaruh dibawah pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH
Perdata).
b)
Badan Hukum
Menurut
sifatnya badan hukum ini dibagi menjadi dua yaitu:
1) Badan hukum publik,
yaitu badan hukum yang di dirikan oleh pemerintah.
Contohnya : Provinsi, kotapraja, lembaga-lembaga dan
bank-bank negara
2) Badan hukum privat,
adalah badan hukum yang didirikan oleh perivat (bukan pemerintah)
Contohnya : Perhimpunan, Perseroan Terbatas, Firma,
Koprasi, Yayasan.
2.
Pengertian Obyek Hukum
Obyek
hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau
segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum
dapat pula disebut sebagai benda. Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah
tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Benda
itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu benda berwujud dan benda tidak berwujud.
Syarat
Sahnya Perjanjian
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian
dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat komulatif. Keempat
syarat untuk sahnya perjanjian tersebut antara lain :
1.
Sepakat diantara mereka yang mengikatkan diri. Artinya para pihak yang membuat.
2.
Perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang
diperjanjikan. Dan kesepakatan itu dianggap tidak ada apabila diberikan karena
kekeliruan, kekhilafan, paksaan ataupun penipuan.
3. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Arti kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah
dinyatakan dewasa oleh hukum, yakni sesuai dengan ketentuan KUHPerdata, mereka
yang telah berusia 21 tahun, sudah atau pernah menikah. Cakap juga berarti
orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu
peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Dan orang-orang
yang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum yaitu : orang-orang
yang belum dewasa, menurut Pasal 1330 KUHPerdata jo. Pasal 47 UU Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan; orang-orang
yang ditaruh dibawah pengampuan, menurut Pasal 1330 jo. Pasal 433 KUPerdata;
serta orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan
hukum tertentu seperti orang yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan.
4. Suatu Hal Tertentu. Artinya, dalam membuat
perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para
pihak bisa ditetapkan.
5. Suatu Sebab Yang Halal. Artinya, suatu
perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal yang tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
•
Tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
•
Tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan
•
Tidak bertentangan dengan undang-undang.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas, syarat kesatu dan kedua dinamakan syarat
subjektif, karena berbicara mengenai subjek yang mengadakan perjanjian,
sedangkan ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif, karena berbicara
mengenai objek yang diperjanjikan dalam sebuah perjanjian. Dalam perjanjian
bilamana syarat-syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan
oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan
kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan, perjanjian tersebut
tetap mengikat. Sedangkan, bilamana syarat-syarat objektif yang tidak dipenuhi
maka perjanjiannya batal demi hukum. Artinya batal demi hukum bahwa, dari
semula dianggap tidak pernah ada
perjanjian sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di pengadilan.
Bentuk
– Bentuk Perjanjian
Berdasarkan
pasal 1233 KUH Perdata dapat diketahui bahwa perikatan di bagi menjadi dua
golongan besar yaitu :
1.
Perikatan perikatan yang bersumber pada persetujuan (perjanjian )
2.
Perikatan prikatan yang bersumber pada undang undang .
Selanjutnya
menurut pasal 1352 KUH .Perdata terhadap perikatan-perikatan yang bersumber
pada undang undang di bagi lagi menjadi dua golongan yaitu :
1.
Perikatan perikatan yang bersumber pada persetujuan (perjanjian )
2.
Perikatan prikatan yang bersumber pada undang undang .
Menurut
pasal 1353 KUH .Perdata perikatan tersebut diatas dapat dibagi lagi menjadi dua
macam atau dua golongan yaitu sebagai berikut :
1.
Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undng berdasarkan perbuatan
seseorang yang tidak melanggar hukum . mislnya sebagai mana yang di atur dalam
pasal 1359KUH . Perdata yaitu tentang mengurus kepentingan orang lain secara
sukarela dan seperti yang si atur dlam pasal 1359 KUH .Perdata tentang
pembayaran yang tidak di wajibkan.
2.
Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undang berdasarkan perbuatan
seseorang yang melanggar hukum . hal ini diatur didalam pasal 1365KUH. Perdata.
Pada
umumya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
di tetapkan suatu janji , selain untuk dirinya sendiri .Menurut Mariam Darus
Badrul Zaman bahwa yang dimaksud dengan subjek perjanjian adalah :
1.
Para pihak yang mengadakan perjanjian
itu sendiri
2. Para ahli waris mereka dan mereka yang
mendapat hak dari padanya
3. Pihak ketiga
Wanprestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik
apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah
diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian
tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan
oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda,
yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu
keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat
memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan
dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sehubungan
dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur
tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat
waktunya.
Apabila
prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap
memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau
keliru.
Debitur
yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak
dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama
sekali.
Sedangkan
menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukan.
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak
sebagaimana dijanjikannya.
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi
terlambat.
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan
wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering
sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan
melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian
yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur
melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak
diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa
berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam
perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi
dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai
batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi,
diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada
debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari
kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki
pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan
dalam pemberitahuan itu.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah
akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah
jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa
debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:
1) Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang
biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita
memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus
berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita.”
2) Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun
akta notaris.
3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah
menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran
terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan
tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut
berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk
dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya
batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa
tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
1. Sanksi
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada
beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:
1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2) Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan resiko;
4) Membayar biaya perkara apabila sampai
diperkarakan dimuka hakim.
2. Ganti Kerugian
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut
undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl)
Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan
itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten),
atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden),
tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang
didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian
yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada
hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita.
Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang
sebab-akibat yaitu:
a) Conditio
Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari
peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada
pristiwa.
b) Adequated
Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari
peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang
normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).
Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut
adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas
kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu
disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.
Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat
mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:
a)
Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);
b)
Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;
c)
Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut
ganti rugi.
3. Keadaan Memaksa (overmach)
Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak
terlaksanya prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi.
Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena
keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah
melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi
setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi
prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus
menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.
Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan
dan menimbulkan berbagai akibat yaitu:
a) Kreditur
tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi;
b) Debitor
tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar
ganti rugi;
c) Resiko
tidak beralih kepada debitor;
d) Kreditor
tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.
Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori
obyektif dan teori subjektif. Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat
mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang
mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidak
mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami.
Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa
jika debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi
prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada
B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan
tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda,
sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal
ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika
menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.
Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara.
Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya,
barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah.
Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara
berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka
perikatan bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang
dicabut atau barang yang hilang ditemukan kembali.
4. Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan
Memaksa dalam Perspektif Fiqih Muamalah
Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian,
baik ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam
dalam cabang fiqh muamalahnya juga mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi,
ganti kerugian serta adanya keadaan memaksa, berikut ini disajikan pemikiran
salah satu ahli fiqih muamalat Indonesia, Prof. DR. H. Nasrun Haroen, M.A.
Untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung
oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya
pada akad Bay’ barang yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah atau
ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian harus
diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak
diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau
barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam
kasus-kasus seperti ini resikonya adalah ganti rugi dari pihak yang lalai.
Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia
harus membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila
kelalaian berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak
sesuai dengan perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual
juga harus membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi
kerusakan (sengaja atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan
contoh yang disepakati maka barang tersebut harus diganti.
Ganti kerugian dalam akad muamalah dikenal dengan
adh-dhaman, yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama
mengatakan adakalanya adh-dhaman berupa barang atau uang.
Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam
akad yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Segala
kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya
oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh
Islam tidak menghukumi orang yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki
perbuatan lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maximal untuk
memenuhi prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan
dalam pembayaran hutang.
sumber:
Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.
Mashudi, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju
Silondae. Arus Akbar, Fariana. Andi, ”Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis”, Mitra Wacana Media, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar