Minggu, 07 Mei 2017

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI


Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.


Mekanisme Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Perlu dipahami bahwa Penyelesaian sengketa ekonomi bertujuan untuk menghentikan pertikaian dan menghindari kekerasan dan akibat-akibat yang mungkin akan terjadi akibat dari persengketaan tersebut.
Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut: Negosiasi (perundingan), Enquiry atau penyelidikan, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase, Judicial Settlement atau Pengadilan, serta Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional. Adapun penjelasannya, antara lain :
a.       Negosiasi/Perundingan
Negosiasi adalah komunikasi dua arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat keduabelah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda.
Adapun Keuntungan Negoisasi :
1)      Mengetahui pandanga pihak lawan.
2)      Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar pihak lawan
3)      Memungkinkan sengketa secara bersama-sama.
4)      Mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh  kedua belah pihak.
5)      Tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum.
6)      Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu-waktu.
Adapun Kelemahan Negoisasi :
1)      Mengetahui pandanga pihak lawan.
2)      Tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari kedua  belah pihak.
3)      Tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang  mengambil kesepakatan
4)      Sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang.
5)   Memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk  mengetahui informasi yang  dirahasiakan lawan.
6)      Dapat membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak.
7)      Dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan.

b.      Enquiry (penyelidikan)
Enquiry (penyelidikan) adalah merupakan kegiatan untuk mencari fakta yang dilakukan oleh pihak ketiga.

c.       Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
Berikut ini adalah prosedur mediasi :
·     Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
·       Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
·       Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang berperkara.
·      Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan. Jika terdapat perdamaian, penetapan perdamaian tetap dibuat oleh majelis.

d.      Konsiliasi
Konsiliasi adalah Usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut. Dalam pengertian lain Konsolidasi (conciliation), dapat pula diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
1)   pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai,
2)   setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim. Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.

e.       Arbitrase
Arbitrase adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan.
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”
Azas- Azas Arbitrase :
1)    Azas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa oramg arbiter.
2) Azas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri
3)    Azas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak
4)   Azas final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.


Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan
Dalam kamus besar bahasa indonesia sengketa diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, perkara yang kecil dapat juga menimbulkan sengketa ataupun perkara besar seperti  daerah yang menjadi rebutan, pertikaian, perselisihan yang akhirnya dapat diselesaikan dengan cara pengadilan (Litigasi) maupun diluar pengadilan (Non-litigasi).
Penyelesaian Sengketa diluar pengadilan disebut Non-litigasi atau juga sering disebut sebagai alternative dispute resolutions (ADS) yang berarti alternatif penyelesaian sengketa (APS)
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ialah upaya penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedurang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara arbritase, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian para ahli. Sedangkan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa UU Arbitrase dan APS berbunyi:“Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Agama.”
Dari beberapa keterangan diatas dapat dipahami bahwa ketika ada dua orang atau lebih yang bersengketa dan ingin menyelesaikan  masalahnya pasti dibutuhkan pihak ketiga sebagai jalan untuk bermufakat atau mencari putusan, jalan yang diambil selain pengadilan atau litigasi dan diluar yaitu Non-litigasi dengan penyelesain sengketa diluar pengadilan dengan seperti Arbitrase, mediasi, negosiasi, konsiliasi.


Dasar Hukum penyelesaian sengketa diluar pengadilan
Dasar hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan  Kehakiman. Dalam penjelasan pasal 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1970 tersebut, dinyatakan penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan. Selain itu penyelesaian perkara di luar pengadilan juga diatur dalam pasal 14 ayat (2) Undang –undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyatakan bahwa, ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian sengketa perkara secara perdamaian.
Dan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa UU Arbitrase dan APS berbunyi:“Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

Sumber :
Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia (Dr.H.Salim HS.,S.H.,M.S.)
Https://Kbbi.Web.Id/Sengketa
Https://Aliesaja.Wordpress.Com/Penyelesaian-Sengketa-Ekonomi.Html
http://blogpenahitam.blogspot.co.id/2016/04/penyelesaian-sengketa-diluar-pengadilan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar